Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok
Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang
berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim, belum dianggap sempurna
sebuah pesantren kalau belum ada masjidnya. Maka dua setengah tahun
setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M.
timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis berdirinya masjid
dilingkungan Pondok.
Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari
dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama
masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan.
Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin
beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah
kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun
kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen.
Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim
guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya
KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri
untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah
selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid
tersebut.
Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf
Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid
dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan
itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347
H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH.
Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.
Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid
itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang
menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah,
gaya bangunannya yang bergaya klasik, yang merupakan gaya arsitektur
Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah.
Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad
pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu,
ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.
Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu
berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid
yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan
perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya
dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini
dilakukan pada tahun sekitar 1984 M.
Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan
bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan
cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan
mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga
sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai kini
bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus
beralaskan aspal jalan umum.
Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta
menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang
masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang
akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.
Animasi Blog